Artikel Obat Generik dan Pro Kontra Obat Generik

Setali pembeli kemenyan, sekupang pembeli ketayaSekali lancung keujian, seumur hidup orang tak percaya
------
Pantun Melayu lawas di atas barangkali masih bisa memberi gambaran yang pas terhadap masalah sosialisasi obat generik di Indonesia saat ini. Sekalipun sudah lebih dari dua dasawarsa kebijakan ini diterapkan di Indonesia, masih saja banyak kalangan yang enggan menggunakannya. Alasannya klasik: harga obat generik memang murah tapi khasiatnya masih diragukan.

Bukan hanya masyarakat awam yang berpandangan seperti ini. Sebagian dokter pun berpandangan serupa dan enggan meresepkan obat generik. Kalau dokter saja menganggap obat generik tidak efektif, tentu ini sebuah masalah serius karena tenaga kesehatan adalah ujung tombak sosialisi program ini. Laporan dokter tentang obat generik yang tidak ampuh bukan satu atau dua tapi cukup banyak. Kalau mau tahu pendapat langsung para dokter tentang obat generik, silakan lihat arsip milis Dokter Indonesia. (Milis ini hanya khusus untuk dokter tapi arsipnya bisa diakses siapa saja.)

Kita memang tidak bisa membuat sebuah kesimpulan umum berdasarkan testimoni orang per orang. Akan tetapi, banyaknya laporan tersebut setidaknya membuat kita layak bertanya: jangan-jangan memang benar bahwa di pasaran ada banyak produk obat generik yang tidak ampuh. Bagaimanapun, ketidakpercayaan sebagian dokter dan masyarakat tentu harus dijadikan bahan introspeksi oleh Pemerintah dan industri farmasi, bukannya sekadar dianggap angin lalu atau dicela sebagai alasan yang mengada-ada.

Mengapa dokter tidak percaya? Pertanyaan ini perlu dijawab lebih dulu sebelum mencari jawaban dari pertanyaan berikutnya: Mengapa dokter enggan meresepkannya? Dua pertanyaan ini bisa saja memberi jawaban yang berbeda. Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita harus melihat dulu sejarah penerapan kebijakan obat generik di Indonesia. Kebijakan ini diterapkan Pemerintah tahun 1989 dengan tujuan mulia, yaitu ingin melindungi masyarakat dari biaya obat yang dianggap terlalu tinggi. Harga obat paten dan obat bermerek dianggap terlalu mahal sehingga menyebabkan biaya kesehatan menjadi tidak terjangkau oleh banyak orang. Motif industri farmasi untuk mengeruk keuntungan besar telah membuat harga obat tidak berpihak kepada konsumen.

Untuk menurunkan harga, Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan Obat Generik Berlogo (OGB, yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut “obat generik” saja). Perusahaan-perusahaan farmasi dalam negeri didorong untuk memproduksi obat-obatan yang isinya sama dengan obat paten, efektivitasnya sama, tapi harganya jauh lebih murah. Pada saat yang sama, para dokter, terutama di rumah sakit pemerintah, pun diinstruksikan untuk meresepkan obat generik buat pasien.

Tapi usaha ini ternyata tak mudah. Sebagian masyarakat—pihak yang hendak dilindungi itu—ternyata justru merupakah pihak yang paling sulit diyakinkan. Begitu juga sebagian kalangan dokter. Mereka beralasan, obat generik tidak ampuh.

Benarkah klaim itu?

Sebelum bicara tentang perbedaan jenis obatnya, kita mungkin perlu bersikap kritis lebih dulu terhadap klaim ampuh atau tidak ampuh. Sebagai contoh, mari kita perhatikan ilustrasi berikut: Pasien minum obat “G” di hari pertama dan kedua tapi gejala sakitnya tidak berkurang. Lalu ia minum obat “P” di hari ketiga dan keempat, dan gejala sakitnya berkurang. Ia merasa sembuh lalu menyimpulkan bahwa obat “G” tidak ampuh dan obat “P” ampuh. Secara metodologis, kesimpulan seperti ini mungkin saja tidak tepat. Sebab, kita tidak tahu, mungkin saja proses pengobatan sudah dimulai di hari pertama atau kedua saat ia minum obat “G”. Lalu progres itu mencapai puncaknya di hari ketiga dan keempat ketika ia minum obat “P”. Kesimpulan yang paling tepat adalah bahwa kita tidak bisa membuat kesimpulan karena kita tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi di dalam tubuh. Kita hanya bisa menduga-duga.

Akan tetapi, jika banyak sekali orang mengalami hal yang sama dan membuat dugaan yang sama, apalagi mereka adalah para dokter yang tahu konsep evidence-based medicine, artinya kita memang layak bertanya tentang efektivitas obat “G” itu.

Efektivitas obat generik memang masalah klasik yang banyak diperdebatkan. Bukan hanya di Indonesia tapi juga hampir di seluruh dunia. Bahkan, negara dengan regulasi farmasi yang ketat seperti Amerika Serikat pun sempat menghadapi masalah serupa sampai di tahun 1990-an.

Lalu apa yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika? Selain kampanye gencar kepada pengguna, Pemerintah Amerika juga meningkatkan pengawasan kepada produsen. Sebagai bentuk quality assurance, sejak tahun 1999 Food and Drug Administration (FDA, Badan Pengawas Makanan dan Obat Amerika)  mewajibkan semua produsen obat generik melakukan uji bioekivalensi. Publikasi FDA “From Test Tube to Patient: Improving Health Through Human Drugs” bisa dibaca di sini. Dalam uji ini, obat generik dibandingkan langsung dengan obat paten. Keduanya sama-sama diperiksa kandungan dan kualitasnya di laboratorium. Setelah itu, kedua obat tersebut juga diminumkan kepada sukarelawan, lalu kadar obat di dalam darah mereka diperiksa. Jika keduanya setara, barulah obat generik itu dinyatakan layak beredar di pasar.  

Audit terhadap industri farmasi juga diperketat. FDA tercatat beberapa kali memberi peringatan bahkan penarikan produk obat generik perusahan-perusahaan multinasional seperti Ranbaxy, Apotex, dan Teva. Di pasar internasional, perusahaan-perusahaan ini terkenal sebagai pemasok obat generik dengan harga murah. Pabrik-pabrik farmasi Indonesia pun banyak yang mengimpor dari mereka.

Kewajiban uji bioekivalensi dan kontrol ketat terhadap industri farmasi ini terbukti bisa membuat reputasi obat generik meningkat. Para dokter tak lagi ragu-ragu meresepkannya karena memang obat ini telah menjalani uji bioekivalensi. Uji ini memastikan bahwa obat generik memang sama efektifnya dibandingkan obat paten. Memang, obat generik tetap tidak bisa 100% sama dengan obat paten. Berdasarkan review FDA terhadap 2.070 hasil uji bioekivalensi sampai tahun 2007, obat generik berbeda sekitar 3,5% dari obat paten. Sekalipun ada perbedaan, kedua jenis obat ini secara terapetik dianggap sama karena sama-sama efektif. Dengan adanya uji bioekivalensi ini, sekarang di negara "Uak Sam" itu, sekitar 70-80% isi resep dokter adalah obat generik. Padahal, Amerika adalah negara yang memiliki paling banyak perusahaan farmasi penemu obat paten seperti Pfizer, Abbott Labs, Merck & Co, Wyeth, Eli Lilly, Bristol-Myers Squib, dll.

Bagaimana dengan di Indonesia?


Pada masa dasawarsa pertama penerapan kebijakan obat generik, harus diakui bahwa kualitas sebagian (bukan sebagian besar) obat generik memang masih diragukan. Pemerintah sebetulnya sudah mewajibkan semua produsen obat generik untuk mematuhi aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Namun, tak bisa diingkari bahwa di pasaran masih dijumpai obat generik yang kualitasnya di bawah standar.

Di internet, kita masih bisa menemukan arsip penelitian-penelitian tentang obat generik yang kualitasnya tidak sebanding dengan obat paten. Dua di antaranya di sini  dan di sini. Sebagian besar produk generik sebetulnya sudah memiliki kualitas yang setara dengan dengan obat paten. Akan tetapi, dalam hal reputasi, selalu berlaku peribahasa Minangkabau, “Dek nilo satitiak, rusak susu sabalango.” Beberapa produk obat generik yang kualitasnya buruk itu telah merusak citra keseluruhan obat generik.

Bagaimanapun, obat adalah produk dagang, dan industri farmasi punya orientasi terhadap laba. Sementara, harga eceran tertinggi obat generik ditentukan oleh Pemerintah sehingga perusahaan-perusahaan farmasi itu tidak bisa menentukan harga jual sesuai kalkulator mereka. Untuk menyiasati margin keuntungan yang lebih tipis ini, pabrik-pabrik farmasi harus berhemat dalam produksi. Mungkin saja dalam penghematan itu ada sebagian unsur kualitas obat yang dikorbankan tanpa sengaja, misalnya membeli bahan baku obat dari pemasok yang kurang menjamin kualitasnya.

Dalam hal ini, Pemerintah tentu tak bisa mengawasi semua hal yang terkait produksi obat, mulai dari pembelian bahan baku, produksi, pengendalian mutu, dan seterusnya. Yang bisa dilakukan oleh Pemerintah sebatas sertifikasi CPOB dan pengujian produk jadi.

Apalagi saat itu Pemerintah juga belum mewajibkan uji bioekivalensi buat produk obat generik karena biayanya yang cukup mahal. Yang diwajibkan saat itu baru sebatas uji-uji yang murah dan mudah dilakukan di laboratorium tanpa menggunakan sukarelawan, seperti uji disolusi terbanding.
Dalam uji disolusi ini, obat generik diperiksa kecepatannya terlarut di dalam larutan simulasi mirip cairan lambung. Tapi uji ini hanya dilakukan di dalam tabung kaca di laboratorium, tidak dengan cara diminumkan kepada sukarelawan. Jadi, tidak bisa menggambarkan keadaan sesungguhnya ketika obat diminum oleh pasien.

Karena kontrol kualitas obat generik saat itu masih belum begitu bagus, mudah dipahami jika dokter masih menemukan obat generik yang tidak efektif. Inilah yang kemudian membuat mereka sangsi terhadap slogan iklan OGB, “Kita ‘kan tidak makan mereknya”.

Sekalipun semua produsen obat generik sudah memperoleh sertifikat CPOB, kemampuan masing-masing pabrik itu dalam membuat formula yang bagus tentu saja tidak sama. Walaupun kandungan dua produk sama-sama amoksisilin 500 mg, bisa saja keduanya memiliki sifat pelarutan dan penyerapan yang berbeda jika formulasinya berbeda, jenis kristal zat aktifnya berbeda, atau proses produksinya berbeda.

Untuk memperbaiki kekurangan ini, Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan seperti yang dilakukan oleh FDA, yakni kewajiban uji bioekivalensi. Uji disolusi di dalam tabung saja tidak cukup. Obat generik harus diuji pada manusia. Maka sejak tahun 2005, Pemerintah mewajibkan para produsen obat-obat generik untuk melakukan uji bioekivalensi pada produk-produk yang memang harus dibandingkan bioekivalensinya.

Sejak kebijakan uji bioekivalensi ini diterapkan, sebetulnya keseragaman kualitas obat generik di pasaran menjadi semakin baik. Pelaksanaan kebijakan ini memang tidak bisa seketika. Hingga saat ini pun belum semua produk obat generik dilengkapi uji bioekivalensi. Tapi secara umum keseragaman kualitas obat generik dalam lima tahun terakhir sudah jauh lebih baik daripada dasawarsa yang lalu.

Sayangnya, mindset bahwa obat generik adalah obat murah dan murahan yang sudah telanjur tertanam belasan tahun memang tidak mudah untuk diubah. Ini bukti bahwa jika  Pemerintah dan industri farmasi “lancung keujian” dan gagal menjamin efektivitas obat generik, bisa jadi seumur hidup masyarakat akan sulit percaya.

Perlu usaha keras dan sungguh-sungguh untuk membuat orang yang tidak percaya menjadi percaya. Maka jika selama ini kampanye obat generik lebih menekankan logika harga murah, sudah saatnya kampanye sekarang lebih menekankan pada bukti uji bioekivalensi.

Para dokter dan tenaga kesehatan adalah orang-orang terdidik yang terbiasa berpikir rasional dengan landasan bukti ilmiah. Logika harga murah saja tidak cukup kalau tidak disertai dengan bukti ilmiah bahwa obat generik memang sungguh-sungguh sama efektifnya dengan obat paten. Jika bukti ilmiah dari laboratorium independen yang terakreditasi sudah ada, tapi tenaga kesehatan masih tetap enggan menggunakannya, barangkali memang masalahnya bukan kepercayaan.

Sebagian tenaga kesehatan mungkin lebih suka menggunakan obat bermerek karena alasan keuntungan yang didapat dari produsennya. Ini tentu bukan bab obat generik tapi bab kode etik. Yang jadi persoalan adalah ketika tenaga kesehatan meragukan efektivitas obat generik. Sebab, mereka adalah pihak yang bersentuhan langsung dengan pasien. Mereka lebih tahu fakta di lapangan. Sekalipun Pemerintah mengampanyekan obat generik dijamin efektif, mereka tak akan mudah percaya jika ternyata di lapangan mereka menjumpai fakta yang sebaliknya.

Ketidakpercayaan adalah masalah persepsi. Dan, seperti kata para psikolog, persepsi bisa saja berangkat dari fakta, sekalipun bisa juga hanya berdasarkan syakwasangka. Apa pun penyebabnya, fakta ataupun prasangka, keduanya bisa dilawan dengan satu senjata, yaitu bukti ilmiah uji bioekivalensi.

Obat Generik Sejati vs. Semu  

Jika kita melihat sejarah perkembangan obat di dunia, sebetulnya kita akan lebih mudah memahami kenapa kebijakan obat generik adalah sebuah keharusan, lebih-lebih di Indonesia, negara dengan penduduk seperempat miliar yang sebagian besar dari mereka belum dilindungi asuransi kesehatan.
Bagaimanapun juga, produk obat adalah produk dagang. Medicine is business. Big business. Hukum dagang berlaku di sini. Perusahaan-perusahaan besar farmasi dunia berinvestasi miliaran dolar Amerika, melakukan riset bertahun-tahun untuk menemukan obat baru. Begitu obat ini ditemukan, mereka akan memanen investasi dari penjualan obat tersebut.

Sebagai penghargaan terhadap kekayaan intelektual, perusahaan penemu obat akan memegang hak paten yang membuatnya bisa memonopoli penjualan obat tersebut di seluruh dunia. Selama masa paten itu belum kedaluwarsa, tak ada perusahaan lain yang boleh memproduksi dan menjual obat itu.
Contoh gampang adalah amoksisilin. Antibiotik ini ditemukan tahun 1972 oleh Beecham, perusahaan farmasi Inggris yang sekarang menjadi GlaxoSmithKline. Beecham memberi nama dagang obat ini Amoxil®. Amoxil® inilah yang dalam ilmu farmasi disebut sebagai obat paten (kadang disebut inovator, originator, atau pioner). Selama sepuluh tahun, Beecham menangguk keuntungan dari monopoli penjualan amoksisilin di seluruh dunia.

Baru ketika masa patennya kedaluwarsa di tahun 1982, perusahaan-perusahaan farmasi lainnya berlomba-lomba membuat versi generiknya. Dalam terminologi ilmu farmasi, semua produk yang mengandung amoksisilin selain Amoxil® dianggap sebagai obat generik. Jadi, yang namanya obat paten sebetulnya hanya satu merek, yaitu Amoxil® saja. Semua produk amoksisilin selain Amoxil® adalah obat generik (biasa disebut juga me-too product).

Di Indonesia terdapat banyak sekali merek dagang obat yang mengandung amoksisilin. Jumlahnya sekitar dua ratus merek! Maklum, amoksisilin termasuk antibiotik yang paling laris sehingga semua industri farmasi berlomba-lomba memproduksinya. Oleh orang Indonesia, obat-obat generik bermerek ini sering disebut sebagai “obat paten”. Jelas sekali penyebutan ini mengaburkan definisi obat paten karena sejatinya produk-produk itu adalah obat generik. Hanya saja, produk generik itu diberi merek dagang. Obat generik semu!

Harga obat-obat generik bermerek ini lebih murah daripada obat paten karena memang pabrik-pabrik obat generik ini tidak perlu berinvestasi miliaran dolar untuk melakukan penelitian sendiri. Meski sudah cukup murah, tetap saja harga ini masih belum berpihak kepada konsumen. Produksi obat generik bermerek ini masih melupakan esensi kebijakan paten, yaitu bahwa setelah masa paten kedaluwarsa, obat itu menjadi milik masyarakat luas. Dalam produk obat bermerk, masih banyak komponen harga yang mestinya bisa dipangkas sehingga tidak perlu dibebankan kepada konsumen, misalnya biaya promosi, biaya kemasan yang hanya berfungsi “pencitraan” tanpa nilai fungsional, atau bahkan margin keuntungan yang terlalu besar.

Atas alasan inilah Pemerintah kemudian membuat kebijakan Obat Generik Berlogo (OGB, produk obat tanpa merek dagang yang diberi nama sesuai dengan kandungan generiknya). OGB inilah yang biasa kita sebut sehari-hari sebagai obat generik—tanpa embel-embel. Harga OGB ini bisa amat sangat jauh lebih murah sampai sepersepuluh bahkan seperdua puluh dari harga obat paten maupun obat generik bermerek! Lewat kebijakan OGB ini, perusahaan farmasi tetap bisa memperoleh keuntungan wajar tanpa membebani konsumen dengan biaya-biaya yang tidak perlu.

Jadi, dari latar belakang ini kita bisa melihat bahwa kebijakan OGB adalah upaya untuk melindungi masyarakat dari biaya kesehatan yang mahal. Sungguh sayang jika konsumen yang hendak dilindungi itu justru merupakan pihak yang paling kuat menolak OGB hanya karena mereka tidak percaya dengan kualitasnya. 

Di dasawarsa ketiga ini, kebijakan OGB di Indonesia menjadi lebih penting lagi mengingat negara kita akan menerapkan sistem jaminan sosial nasional. Penggunaan obat generik sejati (OGB) jelas akan menghemat banyak anggaran. Sebagai gambaran pembanding, penggunaan obat generik di Amerika diperkirakan bisa menghemat anggaran hingga US$ 200 miliar (sekitar Rp 2.000 triliun) dalam setahun.

Di negara kita saat ini, penggunaan OGB baru mencapai 10%. Porsi terbesar masih ditempati oleh obat generik bermerek. Sukses tidaknya kebijakan obat generik sangat ditentukan oleh semua pihak, mulai dari Pemerintah, industri farmasi, tenaga kesehatan, hingga masyarakat luas. Karena sebagian produk obat generik selama ini telanjur dianggap “lancung keujian”, maka adalah tugas Pemerintah dan industri farmasi untuk benar-benar memastikan bahwa dengan kewajiban uji bioekivalensi, semua produk obat generik yang beredar di pasar memiliki efektivitas yang sama dengan produk obat paten.

Pengawasan terhadap produsen obat generik harus lebih ditingkatkan. Jika perlu, Badan POM harus proaktif melakukan sampling obat generik di pasaran kemudian melakukan semua uji yang diperlukan secara independen, terutama untuk produk-produk yang dicurigai tidak memenuhi standar. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya mendapat informasi dari perusahaan farmasi tapi juga dari lembaga pengawas.  

Pada saat yang sama, para tenaga kesehatan harus mendapat akses mudah untuk melihat hasil uji bioekivalensi obat generik itu sehingga mereka tidak ragu lagi meresepkannya. Dan konsumen, sebagai pihak yang paling berhak menentukan pilihan, harus mendapat refreshing pemahaman baru tentang OGB. Bagaimanapun, konsumen adalah pihak yang paling berkuasa. Meskipun dokter meresepkan obat paten yang mahal, pada akhirnya konsumenlah yang paling berhak menentukan pilihan.

Permenkes tentang Obat Generik menyebutkan dengan jelas: “Apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.” Walaupun dokter meresepkan obat paten atau obat bermerek, pasien berhak meminta versi generiknya di apotek. Generik sejati alias OGB. 

OGB yang sesuai standar adalah obat yang memenuhi semua kriteria obat sejati, yaitu aman, ampuh, dan... murah. Selisih harga yang jauh antara OGB terhadap obat paten atau obat generik bermerek bukan sekadar soal mampu atau tidak mampu bayar. Masyarakat Amerika saja, yang daya belinya lebih tinggi dari masyarakat Indonesia, lebih banyak menggunakan obat generik. Ini soal kepercayaan masyarakat dan kewajiban negara menyediakan pelayanan kesehatan yang terjangkau. 

Kalaupun toh, andaikata, umpamanya, misalkan... sampai hari ini masih ada produk OGB yang dicurigai berkualitas rendah di pasaran, mestinya nila setitik itu tidak menjadi alasan untuk menolak obat generik sebelanga. Sebagai konsumen yang kritis, kita bisa mengomunikasikan temuan kita ke dokter atau apoteker yang akan meneruskannya ke organisasi profesi, atau bisa juga langsung ke Badan POM, Kementerian Kesehatan, atau lembaga perlindungan kosumen. Dengan cara itu, masyakarat bisa ikut membantu Pemerintah memperbaiki kekurangan dalam hal pengawasan OGB, sehingga semua obat generik benar-benar menjadi obat generik tulen: betul-betul ekivalen dengan obat paten.

Komentar